Membakar sampah, baik kah?
Urusan kita dengan sampah tidak berhenti saat kita membuang sampah saja.
Membuang sampah di tempatnya memang baik, tetapi masih ada hal-hal yang
kita perlu perhatikan setelah membuang sampah.
Beberapa dari kita memilih untuk membakar sampah yang telah terkumpul. Apakah pilihan untuk membakar sampah merupakan pilihan yang baik? Ternyata membakar sampah malah menimbulkan masalah baru lagi, khususnya bagi kesehatan kita.
Saat membakar sampah dalam tumpukan, tidak terjadi proses pembakaran yang baik. Pembakaran yang baik adalah dengan membutuhkan Oksigen (O2) yang cukup. Berbeda saat membakar tumpukan sampah, mungkin bagian luar tumpukan cukup mendapatkan Oksigen sehingga menghasilkan CO2, tapi di dalam tumpukkan sampah akan kekurangan O2 sehingga yang dihasilkan adalah gas Karbon Monoksida (CO).
Lalu kenapa dengan gas Karbon Monoksida?
Gas Karbon Monoksida (CO) merupakan gas yang berbahaya, karena dapat membunuh kita secara massal. Bila kita menghirup gas CO, hemoglobin darah yang seharusnya mengangkat dan mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu. Dengan begitu, tubuh akan mengalami kekurangan Oksigen, yang dapat berujung kematian.
Asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah juga berbahaya, lho. Masalah juga muncul dari sampah organik, yang dapat mengakibatkan partikel-partikel yang tak terbakar akan berterbangan, atau menghasilkan reaksi yang menghasilkan hidrokarbon berbahaya. Hidrokarbon berbahaya yang dihasilkan asap pembakaran sampah, termasuk senyawa penyebab kanker yaitu benzopirena, nyatanya mencapai 350 kali lebih besar dari asap rokok. Semakin jauh, kita bisa terjangkit kanker paru-paru, infeksi paru-paru, asma, atau bronkitis.
Belum lagi dengan gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah, yang juga dapat merusak atmosfer bumi. Gas tersebut adalah senyawa chlor, yang dihasilkan dari pembakaran plastik. Pembakaran bahan sintetis yang mengandung nitrogen, seperti nilon, busa poliuretan yang ada pada sofa atau karpet busa, juga membahayakan karena dapat menghasilkan gas HCN yang berbahaya.
Membuang sampah di tempatnya memang belum cukup. Proses dalam menghancurkan sampah nyatanya masih jauh lebih ribet lagi. Sehingga pada dasarnya, kita pun perlu mengurangi sampah, terutama sampah-sampah yang susah mengurai. Mengurangi konsumsi, memaksimalkan produk yang bisa digunakan berkali-kali daripada yang sekali pakai.
Be smart, be green.
Beberapa dari kita memilih untuk membakar sampah yang telah terkumpul. Apakah pilihan untuk membakar sampah merupakan pilihan yang baik? Ternyata membakar sampah malah menimbulkan masalah baru lagi, khususnya bagi kesehatan kita.
Saat membakar sampah dalam tumpukan, tidak terjadi proses pembakaran yang baik. Pembakaran yang baik adalah dengan membutuhkan Oksigen (O2) yang cukup. Berbeda saat membakar tumpukan sampah, mungkin bagian luar tumpukan cukup mendapatkan Oksigen sehingga menghasilkan CO2, tapi di dalam tumpukkan sampah akan kekurangan O2 sehingga yang dihasilkan adalah gas Karbon Monoksida (CO).
Lalu kenapa dengan gas Karbon Monoksida?
Gas Karbon Monoksida (CO) merupakan gas yang berbahaya, karena dapat membunuh kita secara massal. Bila kita menghirup gas CO, hemoglobin darah yang seharusnya mengangkat dan mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu. Dengan begitu, tubuh akan mengalami kekurangan Oksigen, yang dapat berujung kematian.
Asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah juga berbahaya, lho. Masalah juga muncul dari sampah organik, yang dapat mengakibatkan partikel-partikel yang tak terbakar akan berterbangan, atau menghasilkan reaksi yang menghasilkan hidrokarbon berbahaya. Hidrokarbon berbahaya yang dihasilkan asap pembakaran sampah, termasuk senyawa penyebab kanker yaitu benzopirena, nyatanya mencapai 350 kali lebih besar dari asap rokok. Semakin jauh, kita bisa terjangkit kanker paru-paru, infeksi paru-paru, asma, atau bronkitis.
Belum lagi dengan gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah, yang juga dapat merusak atmosfer bumi. Gas tersebut adalah senyawa chlor, yang dihasilkan dari pembakaran plastik. Pembakaran bahan sintetis yang mengandung nitrogen, seperti nilon, busa poliuretan yang ada pada sofa atau karpet busa, juga membahayakan karena dapat menghasilkan gas HCN yang berbahaya.
Membuang sampah di tempatnya memang belum cukup. Proses dalam menghancurkan sampah nyatanya masih jauh lebih ribet lagi. Sehingga pada dasarnya, kita pun perlu mengurangi sampah, terutama sampah-sampah yang susah mengurai. Mengurangi konsumsi, memaksimalkan produk yang bisa digunakan berkali-kali daripada yang sekali pakai.
Be smart, be green.
Hutan Wehea Terancam
Hutan Wehea seluas 38.000 hektar di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan
Timur, yang menjadi habitat bagi orangutan dan menyimpan kekayaan flora
fauna terancam keselamatannya. Alasannya, kawasan itu masih berstatus
hutan produksi sehingga berpotensi dirambah.
"Jika statusnya belum juga diubah menjadi hutan lindung makan terbuka kemungkinan terbitnya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHK) di kawasan tersebut", kata Kepala Dinas Kehutanan Kutai Timur Ordiansyah di Sangatta. Usulan perubahan status hutan disampaikan kepada Kementrian Kehutanan sejak 2007, tetapi belum terwujud.
Hutan Wehea memiliki peran penting. Selain menjadi habitat orangutan, juga berisi ratusan flora dan fauna didalamnya, serta berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi Sungai Wahau.
Saat menyusuri hutan Wehea, hutan masih asri dan terhampar hijau. Sarang orangutan dan jejak macan dahan pun dengan mudah ditemui di dalam hutan. Untuk itu, menurut Ordiansyah sudah selayaknya hutan ini dijadikan hutan lindung sehingga keberadaannya tidak terganggu. Selain dari Pemkab Kutai Timur, desakan penetapan Wehea sebagai hutan lindung juga mucul dari masyarakat adat Wehea dan pihak Universitas Mulawarman.
Bupati Kutai Timur (saat itu Awang Faroek Ishak) telah mengirimkan surat ke Kementrian Kehutanan pada 5 Juli 2007, yang berisi usulan penetapan Wehea sebagai hutan lindung. Usulan itu tidak juga direspon sehingga Bupati Isran Noor yang menjabat saat ini mengusulkan kembali perubahan status. "Kita belum pernah mendapat jawaban apakah usulan itu disetujui atau sebagian saja yang disetujui. Kita belum tahu", kata Ordiansyah.
Selama ini, Wehea dikelola masyarakat adat Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing. Sejak 2004, mereka menetapkan hukum adat untuk melindungi hutan itu dari ancaman perambahan dan perburuan satwa. "Hutan ini jadi lumbung kehidupan bagi kami. Jika hutan habis maka desa ini terancam", kata Kepala Adat Nehas Liah Bing, Ledjie Taq. Setelah hukum adat, dibentuk badan pengelola hutan Wehea dan penjaga hutan.
"Jika statusnya belum juga diubah menjadi hutan lindung makan terbuka kemungkinan terbitnya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHK) di kawasan tersebut", kata Kepala Dinas Kehutanan Kutai Timur Ordiansyah di Sangatta. Usulan perubahan status hutan disampaikan kepada Kementrian Kehutanan sejak 2007, tetapi belum terwujud.
Hutan Wehea memiliki peran penting. Selain menjadi habitat orangutan, juga berisi ratusan flora dan fauna didalamnya, serta berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi Sungai Wahau.
Saat menyusuri hutan Wehea, hutan masih asri dan terhampar hijau. Sarang orangutan dan jejak macan dahan pun dengan mudah ditemui di dalam hutan. Untuk itu, menurut Ordiansyah sudah selayaknya hutan ini dijadikan hutan lindung sehingga keberadaannya tidak terganggu. Selain dari Pemkab Kutai Timur, desakan penetapan Wehea sebagai hutan lindung juga mucul dari masyarakat adat Wehea dan pihak Universitas Mulawarman.
Bupati Kutai Timur (saat itu Awang Faroek Ishak) telah mengirimkan surat ke Kementrian Kehutanan pada 5 Juli 2007, yang berisi usulan penetapan Wehea sebagai hutan lindung. Usulan itu tidak juga direspon sehingga Bupati Isran Noor yang menjabat saat ini mengusulkan kembali perubahan status. "Kita belum pernah mendapat jawaban apakah usulan itu disetujui atau sebagian saja yang disetujui. Kita belum tahu", kata Ordiansyah.
Selama ini, Wehea dikelola masyarakat adat Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing. Sejak 2004, mereka menetapkan hukum adat untuk melindungi hutan itu dari ancaman perambahan dan perburuan satwa. "Hutan ini jadi lumbung kehidupan bagi kami. Jika hutan habis maka desa ini terancam", kata Kepala Adat Nehas Liah Bing, Ledjie Taq. Setelah hukum adat, dibentuk badan pengelola hutan Wehea dan penjaga hutan.
Penggundulan tak Terkendali, Habitat Rangkok Terancam Punah
Habitat Rangkong Indonesia terancam hilang akibat eksploitasi hutan yang membuat sumber pakannya menjadi berkurang.
"Kegiatan
penggundulan hutan tanpa tebang pilih membuat sumber pakan Rangkong
banyak yang rusak. Kondisi ini membuat rangkong semakin terjepit dan
mulai kehilangan habitatnya," kata Dwi Mulyawati Bird Conservation
Officer Burung Indonesia dalam siaran pers yang dikirim melalui pesan
elektroniknya, Sabtu.
Dwi
mengatakan, Rangkong merupakan hidupan liar yang sangat berjasa pada
regenerasi hutan. Tanpa Rangkong, diperkirakan hutan akan segera hancur
dan potensi yang terkandung didalamnya ikut tergusur.
Banyak
jenis pohon yang kelanjutan hidupnya bergantung pada hewan pemakan buah
dalam penyebaran bijinya. "Menurut para peneliti Rangkong dijuluki
sebagai petani hutan karena kehebatannya menebar biji," kata Dwi.
Lebih
lanjut, Dwi menjelaskan seekor Rangkong dapat terbang dalam radius 100
km persegi. Artinya, burung yang termasuk dalam keluarga Bucerotidae ini
dapat menebar biji hingga 100 km jauhnya.
Penelitian
yang dilakukan di kawasan hutan produksi menunjukkan, sumber pakan
Rangkong menyusut hingga 56 persen karena berkuranganya pohon pakan
sebanyak 76 persen.
Berdasarkan
data International Union for Conservation of Nature (IUCN), dari 13
jenis Rangkong yang ada di Indonesia, Julang Sumba (Aceros everetti)
merupakan jenis terancam punah yang masuk pada kategori rentan
(Vulnerable/VU).
Di
Indonesia, Rangkong disebut juga dengan Julang, Enggang, atau
Kangkareng "Jenis yang hanya dijumpa di Pulau Sumba ini diperkirakan
hanya tersisa kurang dari 4.000 ekor dengan kepadatan rata-rata enam
ekor per km persegi," ujar Dwi.
Dwi
menambahkan, Rangkong merupakan jenis burung yang melakukan kegiatan
tersebutt. Tanpa peran Rangkong, bisa dipastikan jenis pohon tertentu
akan lenyap karena induk pohon yang menua akan mati tanpa pengganti.
Buah Ara merupakan salah satu pakan favorit Rangkong yang tersedia hampir sepanjang tahun.
Diperkirakan,
ada 200 jenis pohon Ara yang menjadi pakan utama Rangkong. Dan bila
dibanding burung lainnya, Rangkong dianggap paling mampu dalam
menebarkan biji ara, karena daya jelajahnya yang tinggi.
"Menurut
Margaret F. Kinnaird dan Timothy G. O`Brien, peneliti Rangkong dan
hutan tropis, terdapat korelasi erat antara Rangkong dengan hutan yang
sehat," kata Dwi.
Burung
Rangkong termasuk dalam Famili Bucerotidae, kelompok burung berukuran
besar yang mudah dikenali, terutama dari cula (casque) pada pangkal
paruhnya. Di seluruh dunia terdapat 55 jenis yang tersebar di kawasan
tropis Asia dan Afrika.
Tercatat
ada 13 jenis Rangkong yang ada di Indonesia. Sembilan jenis di
Sumatera: Enggang Llihingan, Enggang Jambul, Julang Jambul-Hitam, Julang
Emas, Kangkareng hitam, Kangkareng Perut-Putih, Rangkong Badak,
Rangkong Gading, dan Rangkong Papan. Empat jenis lagi berada di Sumba
(Julang Sumba), Sulawesi (Julang dan Kangkareng Sulawesi), serta Papua
(Julang Papua). Kalimantan memiliki jenis Rangkong yang sama seperti
Sumatera, kecuali Rangkong Papan.
Burung
Indonesia adalah organisasi nirlaba dengan nama lengkap Perhimpunan
Pelestarian Burung Liar Indonesia (Birdlife Indonesia Association) yang
menjalin kemitraan dengan BirdLife International, yang berkedudukan di
Inggris.
-
No comments:
Post a Comment